Stasiun Kereta Api Prabumulih Dahulu Bak ‘Chinatown’ yang Kini Punah

Tentara Belanda tengah berpose di stasiun Kereta Api Prabumulih. Sumber, Google

Stasiun Kereta Api Kota Prabumulih, yang dibangun kisaran tahun 1915-1917, oleh para tentara belanda yang pada saat itu membuat jalur rel kereta api dari Kertapati ke Tanjung Karang, dan jalur Muara Enim. Sudah beberapa kali dilakukan perombakan bentuk bangunan stasiun kereta api ini, dari masa penjajahan belanda sampai dengan sekarang. Dan bukan hanya itu saja nama perusahaan kereta api atau yang membangun jalur rel pun sudah sering kali berganti.

 

Sejarah stasiun ini tertulis pada buku De Stoomtractie Op Java en Sumatra karangan J.J.G. Oegema. Berdasarkan buku tersebut, stasiun ini mulai dikenal pada tahun 1915 ketika Hindia Belanda membangun jalur kereta Kertapati-Prabumulih sepanjang 78 km dan jalur Prabumulih-Muara Enim sejauh 73 km pada tahun 1917.

 

Pembangunan jalur kereta api Kertapati - Prabumulih 1915-1917
Pembangunan jalur kereta api Kertapati – Prabumulih 1915-1917

 

Sedangkan sejarah awal pembangunan rel kereta api di Indonesia, sebagaimana kami kutip dari situs resmi PT. KAI, tentang sejarah pembangunan jalur kereta dimulai ketika pencangkulan pertama jalur kereta api Semarang-Vorstenlanden (Solo-Yogyakarta) di Desa Kemijen oleh Gubernur Jendral Hindia Belanda Mr. L.A.J Baron Sloet van de Beele tanggal 17 Juni 1864.

 

Pembangunan dilaksanakan oleh perusahaan swasta Naamlooze Venootschap Nederlansch Indische Spoorweg Maatschappij (NV. NISM) menggunakan lebar sepur 1435 mm.

 

Sementara itu, pemerintah Hindia Belanda membangun jalur kereta api negara melalui Staatssporwegen (SS) pada tanggal 8 April 1875. Rute pertama SS meliputi Surabaya-Pasuruan-Malang. Keberhasilan NISM dan SS mendorong investor swasta membangun jalur kereta api seperti Semarang Joana Stoomtram Maatschappij (SJS), Semarang Cheribon Stoomtram Maatschappij (SCS), Serajoedal Stoomtram Maatschappij (SDS), Oost Java Stoomtram Maatschappij (OJS), Pasoeroean Stoomtram Maatschappij (Ps.SM), Kediri Stoomtram Maatschappij (KSM), Probolinggo Stoomtram Maatschappij (Pb.SM), Modjokerto Stoomtram Maatschappij (MSM), Malang Stoomtram Maatschappij (MS), Madoera Stoomtram Maatschappij (Mad.SM), Deli Spoorweg Maatschappij (DSM).

 

Pemerintah Hindia Belanda membangun jalur kereta api negara melalui Staatssporwegen (SS) lalu saat pemerintah hindia belanda menyerah kepada Jepang, sejak itu nama perusahaan perkereta apian indonesia pun berubah menjadi Rikuyu Sokyuku (Dinas Kereta Api).

 

Lalu saat indonesia mempoklamirkan kemerdekaan pada tahun 1945, maka perusahaan kereta api diambil alih pada tanggal 28 September 1945 (ini menjadi hari ulang tahun perkereta apian indonesia). Lalu diubahlah namanya menjadi Djawatan Kereta Api Republik Indonesia (DKARI). Saat belanda datang lagi ke indonesia pada tahun 1946 berubah lagi namanya menjadi Staatssporwegen/Verenigde Spoorwegbedrif (SS/VS).

 

Berdasarkan perjanjian damai Konfrensi Meja Bundar (KMB) Desember 1949, dilaksanakan pengambilalihan aset-aset milik pemerintah Hindia Belanda. Pengalihan dalam bentuk penggabungan antara DKARI dan SS/VS menjadi Djawatan Kereta Api (DKA) tahun 1950.

 

Pada tanggal 25 Mei DKA berganti menjadi Perusahaan Negara Kereta Api (PNKA). Pada tahun tersebut mulai diperkenalkan juga lambang Wahana Daya Pertiwi yang mencerminkan transformasi Perkeretaapian Indonesia sebagai sarana transportasi andalan guna mewujudkan kesejahteraan bangsa tanah air.

 

Selanjutnya pemerintah mengubah struktur PNKA menjadi Perusahaan Jawatan Kereta Api (PJKA) tahun 1971. Dalam rangka meningkatkan pelayanan jasa angkutan, PJKA berubah bentuk menjadi Perusahaan Umum Kereta Api (Perumka) tahun 1991. Perumka berubah menjadi Perseroan Terbatas, PT. Kereta Api (Persero) tahun 1998. Pada tahun 2011 nama perusahaan PT. Kereta Api (Persero) berubah menjadi PT. Kereta Api Indonesia (Persero).
Sumber: https://www.kai.id/corporate/about_kai/

 

***

 

Dulu, pada periode tahun 1960-2000-an Stasiun Kereta ini adalah salah satu tempat tumpuan mencari nafkah bagi masyarakat sekitar, terutama warga Karang Raja Kecamatan Prabumulih Timur. Selain itu di lingkungan stasiun ini banyak juga tempat-tempat hiburan, dan tempat nongkrong sehabis mengumpulkan receh dengan segala profesi mereka.

 

Karena pada masa itu alat transportasi yang dianggap paling efesien dalam hal mengirimkan barang-barang dari satu kota ke kota lain adalah kereta api. Pengiriman hasil karet, beras, gula, bahkan buah-buahan seperti pisang, kelapa, jeruk, dan lain sebagainya dilakukan menggunakan kereta api.

 

Tak jauh dari stasiun kereta ini, ada bioskop Palapa, yang khusus memutar film laga dan drama, baik film mandarin atau pun indonesia, dan setiap ada film yang baru, maka para tim account management atau bagian advertising mulai beraksi. Mereka biasa ber-iklan disepanjang jalan Jendral Sudirman, menggunakan toa sebagai pengeras suara dan mengendarai mobil pick-up berkeliling sambil terus menawarkan kepada masyarakat kota ini untuk hadir ke bioskop. Sesekali mereka bernyanyi-nyanyi menggugah hati masyarakat yang haus akan hiburan.

Demi mendapatkan sebuah hiburan, yang pada masa itu bioskop adalah tempat hiburan paling favorit dan berkelas. Maka tak jarang mereka harus menyisihkan uang belanja, menyiapkan budget puluhan ribu rupiah, saat itu HTM atau harga tanda masuk bioskop-bioskop kota ini berkisar di harga 5.000-7.500 perorang. Seperti yang pernah media ini tulis, ada empat bioskop yang pernah jaya di kota ini. Bioskop Nasional, Bioskop Palapa, Bioskop Ria/King, Bioskop Presiden.

 

Stasiun Kereta Api ini, layaknya Chinatown-nya prabumulih, yang selalu ramai dikunjungi. Pedagang nasi uduk berjejer di sepanjang jalan depan stasiun, sedangkan di amplasemen (emplacenent) terlihat para pedagang rokok, minuman dan makanan yang terbilang komplit.

 

Pedagang bakso yang dahulu memakai dandang besar dan dipikul, pedagang bubur, rumah makan Bagelen, pangkalan nasi Ngapak, pedagang nanas ikatan, para kuli angkutan barang, preman-preman, para pedagang asongan, penjaga dan pengawas kereta barang, pedagang Nalo, dan juga SDSB (Sumbangan Dana Sosial Berhadiah) para kupu-kupu malam, pengamen, pengemis, gelandangan, tuna wisma, calo-calo karcis kereta, pemain dadu, tukang sulap, bahkan orang gila pun ada di seputaran stasiun ini. Lengkap dan saling melengkapi.

Tak jauh dari stasiun ini ada beberapa Losmen kelas melati, dengan harga yang sangat murah pada waktu itu. Losmen Kenangan, Losmen Rahayu Sentosa, Losmen Sederhana, Losmen Idaman dan Penginapan Rusmala. Namun ada juga beberapa Losmen yang tidak bermerek yang menjanjikan berbagai ‘hiburan’.

 

Setelah memasuki periode tahun 2000-an ke atas, stasiun ini mulai lebih tertib, para pedagang asongan terlihat lebih rapi dan sudah lebih teratur serta jauh dari kesan kumuh. Meskipun penghasilan mereka tidak terlalu besar, namun stasiun ini sudah menjadi ‘kantor’ bagi mereka, menjadi ladang dan sawah tempat mereka menanam dan menuai hasil yang sedikit, namun cukup untuk keperluan sehari-hari, untuk membiayai sekolah anak-anak mereka, bahkan sampai ke jenjang universitas.

 

Mereka tak berharap menjadi kaya dengan menjual makanan khas stasiun ini, yakni Bongkol, Lemper Telor, Nasi Uduk, Nasi Bungkus dan makanan lainnya, namun, mereka hanya ingin ada pemasukkan setiap harinya untuk menyambung hidup.

 

Jam kerja mereka adalah saat kereta penumpang masuk dan mengangkut penumpang dari stasiun Prabumulih ke Baturaja-Tanjung Karang, dan sebaliknya, atau ke Muara Enim-Tebing Tinggi, kereta api Ekpress, Limex Sriwijaya, Serelo, dan Sindang Marga. Dulu ada juga Kereta Api Ogan jurusan Kertapati-Baturaja, mungkin karena penumpangnya kebanyakan orang suku Ogan Komering Ulu jadilah nama keretanya Ogan. Inilah patokan jam operasional mereka, dan dari penumpang kereta inilah mereka dapat mencukupi kebutuhan hidup yang dijalani.

 

Disini apapun bisa jadi uang, siapapun orangnya bisa berpeluang mendapatkan penghasilan asal mau dan tidak malas. Inilah stasiun prabumulih dulu, sebelum semuanya berubah drastis dan menghilang bagai ditelan bumi.

 

Para pedagang asongan yang menggantungkan hidupnya dari berjualan di stasiun ini, tiba-tiba harus menjadi pengangguran, semenjak dikeluarkannya larangan berdagang di dalam atau di luar kereta.

Kebijakan tersebut, merujuk pada sejumlah aturan. Yakni, UU 23/2007 tentang Perkeretaapian, Pasal 35 ayat 2 serta PP 72/2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Kereta Api, Pasal 124. Peraturan Menhub 9/2011 tentang Standar Pelayanan Minimum untuk Angkutan Orang dengan Kereta Api. Serta, Instruksi Direksi PT KAI 26/LL.006/KA-2012 tentang Penertiban Pedagang Asongan, Penumpang Liar dan Larangan Penumpang Merokok di Atas KA.

 

Puluhan pedagang menangis kehilangan mata pencahariannya, puluhan pedagang terdiam tanpa dapat berbuat apa-apa, mereka hanya bisa mengeluh dan meratapi nasip, mereka yang dulu menjadikan stasiun kereta ini sebagai rumah kedua mereka, kini rumah kedua itu seakan menjadi tempat asing yang begitu sakralnya sehingga tak sembarang orang yang bisa masuk dan lewat di sana.

 

Tempat yang dulu sangat akrab dan menjadi bagian cerita hidup mereka, kini berubah total, tak ada lagi yang dapat diharapkan dari bentangan ular besi yang dahulu selalu mereka lewati, tak ada lagi peluang rejeki dari auman suara klakson lokomotif yang ditekan oleh masinis saat menggandeng gerbong penumpang. Atau pada getaran bumi kala moda transportasi darat itu menghantam rel di atas pekarangan rumahnya. Semua menjadi luar biasa, semua tak lagi saling kenal, semua tergantikan dengan suasana kaku yang tak lagi bisa menjadi tumpuan mencari nafkah.

 

Memang tak bisa kita sangkal bahwa saat ini kereta api sudah menjadi alat transportasi yang nyaman, aman, teratur dan sangat rapi, dengan fasilitas yang makin ditingkatkan untuk para penumpang yang ingin berpergian baik ke jalur arah Tanjung Karang, atau ke Lubuk Linggau, sangat banyak perubahan positif yang dipersembahkan oleh PT. KAI saat ini, dan hal itu juga diakui oleh banyak masyarakat yang pernah menggunakan moda transportasi ini.

 

Peningkatan pelayanan yang sangat signifikan ini tentu bagaikan kepingan mata uang yang mempunyai dua sisi, dimana PT. KAI harus juga menciptakan peraturan baru demi kebutuhan kenyamanan para penumpang, namun di balik itu juga tentu tak semua orang menjadi puas atau merasa diuntungkan karenanya.

Kini semua hanya menjadi sejarah dan cerita untuk dicatatkan sebagai salah satu kisah bagaimana cara berjuang menyambung hidup di Chinatown-nya Kota Prabumulih, kala stasiun menjadi rumah kedua bagi masyarakat sekitarnya.

 

Dan mungkin beberapa tahun atau berapa puluh tahun yang akan datang, rumah-rumah di sekitar rel kereta api ini akan digusur dan dihilangkan dari peta kependudukan, dan bila itu terjadi, tak akan ada orang yang dapat mencegahnya. Karena mereka tak punya taring untuk menggigit, tak punya kuku untuk mencakar, tak punya kuasa untuk melawan dan membantah. Sebagaimana ‘Pedagang Asongan’ kereta api yang kini sudah dihapuskan dari peta sejarah Stasiun Prabumulih.(Raif)

 

Feature
Ditulis oleh
Rasman Ifhandi SekCab JMSI Kota Prabumulih.

Stasiun Kereta Api Prabumulih Dahulu Bak ‘Chinatown’ yang Kini Punah

2 thoughts on “Stasiun Kereta Api Prabumulih Dahulu Bak ‘Chinatown’ yang Kini Punah

Tinggalkan Balasan

%d blogger menyukai ini: