Kearifan Lokal dalam Memilih Calon Pemimpin Baru Kota Prabumulih

  • Bagikan

PRABUMULIH.  Lembayungnews. Hasil survei popularitas dan elektabilitas saja tidak cukup untuk memandu calon pemilih menetapkan hati. Perlu alat ukur lain untuk menyaring calon pemimpin daerah. Baik dengan pendekatan keilmuan kekinian, atau berdasarkan kearifan lokal.

Hasil survei popularitas dan elektabilitas bersifat sementara. Bisa berubah sesewaktu. Karena blunder atau “perilaku agak laen” seorang kandidat bisa saja mendadak sangat terkenal hingga jagad nasional karena video yang diunggah ke media sosial hingga viral. Dampak baiknya bikin makin terkenal, tapi bisa memperburuk tingkat keterpilihan.

Berkaca dari Pilgub DKI ketika salah satu calon wakil gubernur melakukan blunder akibat guyon soal pemuda nganggur menikahi janda kaya. Guyon ini viral di media sosial, hingga dianggap memicu tanggapan negatif calon pemilih, bikin elektabilitas merosot menurut banyak pengamat.

Pilbub Blitar lain lagi. Senin malam yang silam, 4 November, debat kandidat ricuh karena salah satu paslon membawa contekan. Debat dihentikan. Komentar negatif dan tuduhan kecurangan berhamburan.

*Etikabilitas dan Intelektualitas*
Seseorang dianggap memiliki elektabilitas tinggi tergantung pada kemampuan atau kecakapan untuk dipilih menduduki suatu jabatan dalam pemerintahan. Rocky Gerung, seorang ahli filsafat dan intelektual publik Indonesia mengatakan, elektabilitas harus disaring lebih dulu dengan menguji etikabilitas dan intelektualitas.

Lalu apa yang disebut etikabilitas? Etikabilitas merupakan sebuah fondasi moral dan standar etik yang harus dimililiki calon pemimpin. Fondasi moral ini tersusun dari terintegritas, kejujuran, keberanian untuk bertindak adil, dan tanggungjawab. Sederhananya, calon pemimpin yang akan dipilih ialah mereka yang ucapan dan tindakannya selaras, tidak melanggar nilai dan norma adat-sosial-agama, tidak melanggar hukum, tidak berbohong, tidak korup, dan masih banyak lagi.

Ukuran intelektualitas meminta sang calon pemimpin memiliki kemampuan berpikir strategis. Di dalamnya ada wawasan dalam melihat masalah dan potensi dari berbagai sudut pandang, melakukan penelaahan (analisis), melakukan penilaian dan evaluasi, hingga membuat keputusan berdasarkan fakta dan data yang valid.

Ada banyak sumber pustaka yang bisa membantu menjelaskan tolok ukur atau piranti untuk menyaring calon pemimpin sebagaimana dikemukakan Rocky Gerung. Intinya, pemilih mesti menyaring seorang atau sepasang calon pemimpin dengan menguji etikabilitas, intelektualitas, dan baru terakhir elektabilitas.

*Juare Juandang Juali*

Memilih pemimpin daerah secara langsung bukanlah tradisi baru masyarakat Sumatera Selatan. Sebelum Orde Baru melakukan jawanisasi pemerintahan lokal pada tahun 1979, Bumi Batanghari Sembilan ini diatur diurus dengan sistem pemerintahan marga dan berpegang pada undang-undang Simbur Cahaya.

Sistem pemerintah marga dan Undang-Undang Simbur Cahaya diterapkan selama kurang lebih 400 tahun, mulai dari masa Kesultanan Palembang hingga awal 1980-an. Pemerintahan marga dipimpin seorang pasirah yang dipilih langsung dengan mekanisme mancang. Prosesi mancang dilakukan dengan sederhana dan terbuka. Menurut cerita beberapa sumber, setiap kandidat atau calon pasirah akan berdiri tegak di muka khalayak. Lalu, para pemilih akan berdiri berbaris di belakang sang calon. Penentuan pemenang, siapa yang terpilih menjadi pasirah, didasarkan oleh panjang barisan pendukung di belakangnya. Makin panjang barisan berarti makin banyak pemilih berarti dia sang pemenang kontestasi.

Dari beberapa tetuah di Prabumulih, penulis sempat mendapat keterangan tentang apa yang menjadi dasar pertimbangan ketika memilih calon pemimpin. Tentu saja pada masa itu belum ada lembaga survei yang mencari tahu tingkat keterkenalan (popularitas) maupun peluang keterpilihan (elektabilitas) para calon. Belum pula banyak cendikia yang memberi arahan saintifik. Yang ada hanya kebijaksanaan berbasis kearifan lokal.

Ringkasnya, ada tiga indikator untuk menguji kelayakan calon pemimpin. Ketiganya adalah; juare, juandang, dan juali.

Seorang yang memiliki karakter *juare* secara sederhana diartikan memiliki kemampuan berpikir strategis, berpandangan jauh ke depan atau visioner, dan memiliki kemampuan komunikasi yang baik untuk menyampaikan ide serta gagasan yang dirangkum dalam visi-misinya. Cerdas tapi tidak diiringi kemampuan berkomunikasi di hadapan khalayak akan membuat gagasannya tidak bisa dipahami masyarakat.

Ciri seorang juare berikut yang tak kalah penting adalah kharisma dan integritas yang menunjukkan wibawa tanpa bisa diatur-atur kepentingan yang menumpang di belakangnya, entah itu bohir atau cukong, maupun dalang dibalik kontestasi yang ia ikuti.

*Juandang* berarti memiliki modal yang cukup. Modal tidak diartisempitkan hanya dalam bentuk kapital, finansial, atau uang. Dalam arti lebih luas, ada juga modal sosial dan modal politik. Modal sosial terdiri dari kepercayaan, norma, dan jejaring sosial. Modal politik dapat diartikan akumulasi sumber daya dan kekuasaan yang dibangun melalui hubungan, kepercayaan, niat baik, dan pengaruh antara politisi atau partai dan pemangku kepentingan lainnya, seperti konstituen.

Dari kesemua modal ini, jejaring menjadi penting. Baik jejaring sosial, jejaring politik, maupun jejaring ekonomi. Pemimpin Prabumulih ke depan mesti memiliki dan mampu mengembangkan jejaring ke pengambil keputusan di level lebih tinggi baik provinsi maupun pusat, mampu mengundang investor jika diperlukan, sekaligus mampu merawat jejaring sosial melalui pendekatan-pendekatan kreatif, sehingga menggerakkan produktivitas masyarakat yang ia pimpin.

Karakter ketiga, *juali*. Juali artinya mampu mengerjakan apa yang ia gagas. Mampu mengubah gagasan menjadi tindakan. Bukan hanya memiliki kapasitas, tapi juga kompetensi. Bukan sekadar punya kecakapan, tapi juga kepacakan. Kemampuan bekerja tidak melulu soal teknis, tapi juga pengelolaan atau manajerial. Ia mesti terlatih dalam pengorganisasian birokrasi, memahami tata kelola pemerintahan yang baik, memahami skema penganggaran, paham tata-cara pembentukan peraturan daerah, dll.

*Selamat memilih!*
Meski bersumber dari wawancara dengan para pemuka di Prabumulih, hemat saya tiga karakter pemimpin berdasar kearifan lokal ini bersifat universal dan berkesamaan dengan kearifan tradisional di wilayah lain. Hanya berbeda pada penamaan atau penggunaan istilah. Dengan sifat universilitas ini, ketika masyarakat Prabumulih sudah sangat majemuk, bukan hanya berasal dari suku yang ada di Sumatera Selatan melainkan nusantara, ketiga tolok ukur ini tetap dapat menjadi panduan. Lebih-lebih karena nilai-nilai yang digunakan untuk menguji karakter pemimpin tersebut masih tetap relevan dengan situasi saat ini.

Berdasar kearifan lokal, seorang pemimpin yang baik, memiliki karakter juare, juandang, dan juali. Tetapi, semua kembali kepada Prabumulih. Silakan pakai alat ukur dengan ilmu pengetahuan modern atau menggunakan kearifan lokal. Selamat memilih!

Catatan Syam #06
Prabumulih 10 November 2024

Ini adalah seri catatan ringkas sebagai sumbangan pemikiran bagi Prabumulih menyambut PILKADA 2024. (Syam A.R.)

\ Get the latest news /

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

PAGE TOP