Konflik Sahara dan Yai Mim Bola Panas yang Bergulir Menghantam Setiap  Rekayasa dan Kebohongan

  • Bagikan

MALANG JATIM, LEMBAYUNGNEWS —
Sebuah kisah yang awalnya tampak sepele—hanya persoalan parkir di depan rumah—berubah menjadi drama hukum, sosial, dan moral yang menyita perhatian publik nasional.

Dari kawasan Kelurahan Merjosari, Kecamatan Lowokwaru, Kota Malang, Jawa Timur, dua tokoh dengan latar belakang berbeda saling berhadapan: KH. Muhammad Imam Muslimin atau yang akrab disapa Yai Mim, mantan dosen Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim Malang, dan Nurul Sahara, seorang warga sekaligus pelaku usaha rental mobil.

Kasus mereka kini bukan lagi sekadar perselisihan antar tetangga. Ia telah menjelma menjadi cermin kompleks tentang benturan status sosial, kekuasaan akademik, dan dinamika hukum di era digital, di mana satu unggahan bisa mengubah nasib seseorang.

Awal Pertikaian: Dari Jalan Sempit ke Jalan Hukum

Semua bermula sekitar pertengahan 2025. Sahara, yang tinggal bersebelahan dengan Yai Mim, memarkir mobil rental di depan rumah sang dosen. Aksi itu, menurut Yai Mim dan istrinya, menghalangi akses ke area yang mereka klaim sebagai tanah pribadi yang pernah mereka wakafkan untuk jalan umum.
“Dulu tahun 2007 waktu beli tanah, kami memang sengaja menyisihkan sebagian untuk akses warga,” ujar Yai Mim dalam wawancaranya, dikutip dari Detik.com (30/9/2025).

Namun, versi Sahara berbeda. Ia menegaskan bahwa area tersebut adalah fasilitas umum yang sudah menjadi akses bersama sejak awal pembangunan perumahan. Ketegangan pun meningkat ketika Yai Mim menegur secara langsung dan kemudian memposting video perdebatan di media sosial. Tak butuh waktu lama, video itu viral dan memantik hujan komentar.

“Awalnya hanya parkir, tapi jadi runyam karena direkam dan diunggah,” tulis Alonesia.com (7/8/2025).

Belakangan Nurul Sahara mengungkapkan bahwa keributan itu adalah refleksi dari kejadian sebelumnya yakni dugaan pelecehan verbal oleh sang dosen kepada dirinya.

Pelecehan itu tak hanya sekali dilakukan oleh lelaki yang dipanggil Yai dan mengaku hafidz dan Hammil quran itu mencuat dan sudah dilaporkan ke pihak berwajib oleh Nurul Sahara.

Benturan Narasi: Wakaf atau Klaim Sepihak?

Persoalan makin pelik ketika muncul klaim dari pihak Yai Mim bahwa tanah di depan rumahnya adalah tanah wakaf pribadi. Ia menyebut telah menyerahkan sebagian tanah itu untuk jalan umum, tetapi kini merasa “diserobot” penggunaannya.

Namun pernyataan itu segera dibantah oleh Camat Lowokwaru.
“Dari catatan kami, tidak ada tanah wakaf yang tercatat di wilayah itu,” tegas Camat Lowokwaru seperti dikutip Detik Jatim (30/9/2025).

Pernyataan ini membuat posisi Yai Mim semakin sulit di mata publik, apalagi setelah muncul kabar bahwa sebagian warga sekitar menandatangani petisi menolak keberadaan dirinya di lingkungan tersebut. Terhitung ada 25 orang yang menolak termasuk RT dan RW setempat, hal ini memicu silang pendapat dari netizen.

Badai di Media Sosial: Antara Fitnah dan Pembunuhan Karakter

Setelah video pertama viral, muncul pula video kedua yang memperlihatkan Yai Mim dalam kondisi yang dinilai tak pantas, berguling di tanah, hingga dikomentari dengan tuduhan yang berat, bahkan mengarah ke isu moral. Yai Mim membantah keras, menyebut video itu bentuk persekusi digital dan pembunuhan karakter.

“Saya sudah melapor. Ini bukan hanya soal tetangga, tapi soal martabat dan data pribadi saya yang dicuri,” ujarnya usai menjalani pemeriksaan di Polresta Malang, dikutip Malangtimes.com (21/10/2025).

Pihak Sahara di sisi lain mengaku juga menjadi korban tekanan dan perundungan daring akibat video itu. “Saya hanya ingin keadilan. Saya tidak ingin terus disalahkan,” katanya, dalam pernyataan kepada Suara.com (1/10/2025).

Bermunculan Kesaksian dari Orang-orang yang Mengaku Terlibat Langsung Dalam Polemik Ini

Seiring berjalannya waktu banyak akun-akun media sosial (tiktok) yang mengaku sebagai orang yang terlibat langsung dalam polemik ini, “Saya orang yang menjadi ‘korban’ dari Yai Mim, saya dikirimi video (Syur_Red) oleh Ibu Nyai, buktinya ada,” ungkap seseorang yang tak mau disebutkan namanya.

Perselisihan makin meruncing berbagai pendapat mulai bermunculan secara masif dan liar, apalagi setelah melihat banyaknya beredar pernyataan blunder dari Yai Mim yang sering mengeluarkan kata-kata tuduhan kepada setiap orang yang dianggap berseberangan dengannya, bahkan orang yang tidak sepemikiran dengannya pun menjadi sasaran ucapan tajam Yai Mim termasuk Menteri Agama tahun 2025 Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA, yang notabene adalah pimpinannya di Kemenag.

Langkah Kampus dan Hukum: Dua Jalur yang Berbeda

Merespons hebohnya kasus itu, UIN Malang bergerak cepat. Pada 17 September 2025, pihak kampus mengumumkan penonaktifan sementara Yai Mim dari aktivitas mengajar.

“Kami membentuk Tim Penegakan Disiplin ASN untuk memeriksa kebenaran fakta-fakta di lapangan,” tulis rilis resmi universitas yang dikutip Malangtimes.com (17/9/2025).

Sementara itu, di jalur hukum, kedua pihak saling melapor. Sahara melaporkan Yai Mim dengan tuduhan pencemaran nama baik dan pelecehan, sedangkan Yai Mim melaporkan Sahara atas dugaan pelanggaran UU ITE dan penyebaran konten pribadi tanpa izin. Hingga kini, kepolisian masih mendalami bukti dari masing-masing pihak.

Permintaan Maaf dan Sikap Tegas

Dalam perkembangan berikutnya, Sahara akhirnya menyampaikan permintaan maaf terbuka kepada Yai Mim dan istrinya.
“Saya punya dua kesalahan besar dan mohon maaf sebesar-besarnya kepada Yai Mim dan Bu Nyai Rosidah,” ujarnya dalam pernyataan resmi, dikutip Malangtimes.com (4/10/2025).

Namun Yai Mim memilih tetap menempuh jalur hukum.
“Saya memaafkan, tapi proses hukum harus tetap berjalan,” katanya.
Sikapnya ini menunjukkan tekad untuk membuktikan kebenaran versinya, meski tekanan publik terus menguat.

Analisis: Ketika Media Sosial Jadi Pengadilan

Kasus Yai Mim–Sahara bukan sekadar pertikaian antar tetangga. Ia menggambarkan betapa rentannya reputasi seseorang di era digital. Satu video, satu caption, atau satu narasi bisa menimbulkan badai opini yang sulit dikendalikan. Bahkan, kebenaran pun menjadi relatif, bergantung pada siapa yang lebih dulu didengar publik.

Dalam konteks sosial, kasus ini menyingkap ketimpangan persepsi antara figur publik dan warga biasa. Seorang dosen bergelar kiai bisa kehilangan reputasi dalam semalam, sementara warga sipil yang dianggap “melawan” otoritas mendapat dukungan dari warganet.

Bagi lembaga pendidikan seperti UIN Malang, kasus ini menjadi refleksi penting: bagaimana menjaga integritas akademik sekaligus hak individu, tanpa terburu-buru mengorbankan citra kampus di mata publik.

Penutup: Di Persimpangan Nama Baik dan Keadilan

Hingga berita ini ditulis, kedua pihak masih menempuh proses hukum. Tidak ada yang benar-benar menang, sebab keduanya telah kehilangan sesuatu kepercayaan, privasi, bahkan ketenangan di rumah sendiri.

Kasus Yai Mim dan Sahara menjadi pengingat bahwa era digital menuntut kebijaksanaan lebih dari sekadar keberanian berbicara. Dalam pusaran opini publik, kebenaran sejati sering kali tenggelam di antara ribuan komentar, dan hanya waktu serta hukum yang dapat menentukannya.

Diakui atau tidak perlahan namun pasti dukungan terhadap pasangan Yai Mim dan Nyai Rosidah V, makin hari makin melemah, sebaliknya terhadap Nurul Sahara, beberapa kelompok pegiat medsos mulai dengan lantang memberikan dukungan kepadanya yang saat ini Sahara tidak pernah lagi muncul dalam Komal (Komunikasi Massal) live Tiktok sebagai bentuk keseriusannya menghadapi permaslahan ini.

Sebuah kebenaraan bisa saja dikaburkan, tetapi tak akan bisa ditenggrlamkan, hanya menunggu waktu yang berjalan menuju terkuaknya realita yang menggemparkan.

Reporter: Rasman Ifhandi (Raif)

Editor: Redaksi Lembayungnews
Sumber: Detik.com, Malangtimes.com, Suara.com, Alonesia.com, AboutMalang.com

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *