Dari Pedagang ke Lurah Berprestasi: Jejak Joko Arif Trianto, Warisan Taman EDAGI, dan Langkah Baru Setelah Kebebasan

  • Bagikan

PRABUMULIH, LEMBAYUNGNEWS– Hidup kadang bergerak seperti roda: mendaki perlahan, mencapai puncak, lalu turun pada titik yang tak pernah terbayangkan. Begitulah kisah Joko Arif Trianto, mantan Lurah Gunung Ibul Barat, yang hidupnya penuh pasang surut. Dari seorang pedagang yang merintis usaha kecil, ia menapaki karier hingga dikenal sebagai lurah berprestasi dengan segudang inovasi. Namun perjalanan itu terhenti ketika ia harus menjalani hukuman atas kasus korupsi.

Warisan dari Masa Jabatannya: Taman EDAGI

Sebelum tersandung persoalan hukum, Arif—begitu ia akrab disapa—dikenal sebagai pemimpin yang dekat dengan masyarakat. Salah satu karya yang masih dikenang adalah Taman EDAGI (Edukasi Agro Ekologi), ruang hijau yang ia bangun di bantaran rel kereta api Gunung Ibul Barat.

Area yang dulunya tak terurus itu ia ubah menjadi taman edukasi sederhana namun bermanfaat. Di sana, Arif menanam berbagai tanaman toga seperti jahe, lengkuas, kunyit, serai, dan herbal lain yang kerap digunakan warga untuk kebutuhan sehari-hari. Tidak hanya itu, ia juga memanfaatkan paritan di sepanjang lokasi menjadi kolam ikan memanjang, menghadirkan suasana yang teduh sekaligus memperkaya fungsi taman sebagai tempat belajar ekologi bagi anak-anak sekolah.

Meski kini tak lagi memiliki wewenang mengembangkan taman tersebut, Arif menyimpan harapan besar terhadap keberlanjutannya.

“Saya mungkin tak lagi punya kesempatan untuk merawat dan mengembangkan Taman EDAGI. Untuk itu, saya berharap pemimpin yang sekarang dapat melanjutkan langkah saya yang pernah terhenti,” ujarnya dengan nada haru.

Bangkit: Kembali Berdagang Setelah Kebebasan

Setelah bebas pada tahun 2021, Arif memilih kembali ke jejak paling awal dalam hidupnya: menjadi pedagang. Dunia usaha mengajarkannya arti ketekunan, kemandirian, dan rasa percaya diri—nilai-nilai yang perlahan ia bangun kembali setelah melewati masa sulit.

Berdagang menjadi cara Arif untuk memulihkan harga diri dan menghidupi keluarga tanpa harus bergantung pada siapa pun.

Membentuk PENA MANAP: Mengulurkan Tangan untuk Sesama Mantan Napi

Namun Arif tidak berhenti membangun kembali dirinya sendiri. Dari pengalaman pahit yang ia lewati, ia melihat kenyataan lain: mantan napi kerap kesulitan mendapat penerimaan masyarakat. Banyak dari mereka kehilangan arah, pekerjaan, dan bahkan keluarga.

Berangkat dari keprihatinan itu, Arif mendirikan organisasi bernama PENA MANAP—sebuah wadah pembinaan dan pendampingan bagi mantan narapidana. Kini, organisasi tersebut telah beranggotakan puluhan mantan napi dari berbagai kasus, mulai dari pidana umum hingga kasus berat.

Tujuan PENA MANAP sederhana namun bermakna: memberi ruang, semangat, dan kesempatan kedua bagi mereka yang ingin memulai hidup baru.

Suara dari Anggota PENA MANAP

Salah satu anggota, R, mantan napi kasus narkoba, menceritakan betapa beratnya kembali ke masyarakat.

“Kami sering dianggap sama seperti masa lalu kami. Di PENA MANAP, kami merasa punya keluarga baru. Kami bisa belajar usaha kecil, bisa berbagi cerita tanpa dihakimi,” ujarnya.

Anggota lain, S, mantan napi kasus penggelapan, menambahkan:

“Pak Arif bilang kami semua punya masa depan selama mau berusaha. Itu memotivasi saya untuk berubah.”

Respons Warga dan Lingkungan Sekitar

Keberadaan PENA MANAP perlahan mulai mendapat perhatian warga. Meski sebagian masih memandang dengan ragu, banyak juga yang mengapresiasi langkah Arif.

Nurhayati, warga Gunung Ibul Barat, menilai organisasi itu sebagai upaya positif.

“Lebih baik mereka dibina dan diberi kegiatan daripada tidak punya arah. Kalau benar-benar mau berubah, kita sebagai warga harus mendukung,” katanya.

Sementara seorang tokoh masyarakat setempat menilai bahwa inisiatif Arif bisa menjadi contoh bagaimana mantan napi dapat kembali memberi manfaat bagi lingkungannya.

Menghadapi Stigma, Merawat Harapan

Perjalanan Arif belum sepenuhnya pulih. Stigma sosial masih menjadi tembok yang harus ia hadapi setiap hari. Namun melalui usaha dagangnya dan PENA MANAP yang ia bangun, ia perlahan menjawabnya dengan tindakan.

Di tengah proses itu, Taman EDAGI tetap berdiri sebagai jejak masa lalu—jejak yang menunjukkan bahwa di balik kesalahan seseorang, selalu ada sisi baik yang pernah ia berikan, dan selalu ada peluang bagi siapa pun untuk memulai kembali.

Editor; Rasman Ifhandi

  • Bagikan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *