Elegi Sepotong Hati

“Kau terlalu cantik untuk jadi seorang pengemis, Nimas,”

“Ah, sudahlah, Kakang. Tak perlu merayu. Kau bahkan paham, tanpa dirayu pun, hatiku sudah jatuh ke tanganmu.”

“Tapi, hanya jatuh ke tangan saja tak cukup bila kita belum duduk bersanding di pelaminan.”

“Nanti … bila misi yang ditugaskan pada kita sudah terlaksana dengan baik, Kakang. Sekarang, cepatlah, ubah diriku menjadi tua dengan ajian Malih Raga milikmu itu, atau kita akan ketahuan.”

“Lalu aku bagaimana?”

“Kau sudah buruk rupa, Kakang. Jadi tak perlu malih raga.”

Nimas Kinasih berlari sambil menahan tawa dan Danar Aryandra mengejarnya dengan gemas. Mereka bertemu di balik beringin tua nan rindang kemudian saling menautkan jemari. Perawan 18 tahun itu tersenyum malu ketika Danar menatapnya dalam. Sebuah kecupan hangat jatuh pada kening Nimas yang dihiasi anak-anak rambut. Jauh di sana, sepasang mata mengintai penuh rasa cemburu.

***

Langit malam berhias cahaya gemintang di atas lembah. Seorang gadis duduk terpekur sendiri menatap ke kejauhan. Hatinya seperti galau, entah apa yang dipikirkannya.

Sudah beberapa purnama, Nimas Kinasih–nama gadis itu—pergi meninggalkan rumahnya di ujung kulon pulau Jawa untuk mencari jati diri. Sebenarnya ia tak ingin meninggalkan ibunya sendirian di rumah, hanya berteman dengan seorang suami jahat yang tak lain adalah ayah tiri dari Nimas Kinasih.

Nimas tahu, ibunya pasti memendam derita tak berkesudahan akibat perilaku semena-mena dari ayah tirinya itu. Namun, dirinya tidak memiliki pilihan lain selain pergi agar kelak di kemudian hari, ia dapat membalas dendam pada lelaki yang menghancurkan kebahagiaan ibunya.

Nimas masih sangat ingat ketika dirinya melangkahkan kaki meninggalkan rumah. Ibunya meraung tiada henti. Nimas memalingkan muka, demi melihat lebam di bawah mata ibunya lengkap dengan derai air mata yang membuatnya pilu.

“Tunggu aku, Biyung. Aku akan buktikan kesungguhanku. Lelaki itu akan menerima balasannya,” ucap Nimas dengan mata berkaca.

“Tapi kamu akan meninggalkan biyungmu ini seorang diri, Nduk, entah mati atau tidak nantinya,” sanggah Nyi Warsih, ibunya.

“Kalau di sini terus, aku juga akan mati, Biyung. Laki-laki jahanam itu tidak akan kapok menyiksa kita berdua meski warga sudah memperingatkan dengan keras.” Nimas bersikeras.

“Kalau begitu bawa Biyung sekalian pergi denganmu.”

“Jangan melemahkanku, Biyung. Aku tidak dapat membawa Biyung untuk sekarang ini. Restuilah saja anakmu ini. Percayalah, pada saatnya nanti aku akan pulang membawa kebahagiaan untuk Biyung.”

Setelah kepergiannya, bukan berarti Nimas merasa lega dan tenang, terlepas dari dera dan siksa yang dilakukan ayah tirinya. Berjuta sesal dan khawatir merajai hatinya. Rasa cemas dan kalut sering hinggap menghantui pikirannya.

“Apa kabar biyungku sekarang? Masihkah biyung bertahan tinggal dengan lelaki jahanam itu?” bisik Nimas dalam hati. Tanpa terasa air matanya meleleh, membasahi kedua pipinya yang ranum.

Suara gaduh terdengar dari dalam Padepokan Lembah Petir. Nimas tersenyum kecil. Ia tahu, teman-temannya sedang berlatih ilmu tenaga dalam. Sesekali terdengar suara gurauan dan bahkan teriakan dari Ki Wirasana yang sedang melatih para murid padepokan itu.

“Hei, mengapa kau malah duduk di sini?” panggil seseorang. Nimas menoleh terkejut.

“Kakang Danar. Anu, Kang, aku sedang mencari angin,” jawab Nimas sekenanya. Danar Aryandra, lelaki bujang yang juga teman seperguruan Nimas itu tertawa. Meski gelap, Nimas bisa melihat bola mata lelaki itu seperti kilat. Buru-buru Nimas membuang muka, ia khawatir terjadi hal yang membuatnya malu.

“Ha-ha-ha, cari angin apa melamun?”

Danar Aryandra duduk menyebelahi Nimas Kinasih. Kini, mereka berdua duduk berdampingan, menatap hamparan pepohonan di lembah dalam keadaan gelap gulita. Tiada perbincangan yang terjadi di antara keduanya. Masing-masing bertelut dalam pikiran, entah apa.

Ketika langit makin kelam dan suara penghuni padepokan sudah senyap, Danar beranjak. Ditariknya lengan Nimas yang masih diam membisu.

“Sudah larut, sebaiknya kau istirahat,” kata Danar kemudian.

“Belum ngantuk, Kang,” sahut Nimas.

“Nimas, kalau Ki Wirasana atau Ki Randu tahu, kita bisa dihukum.”

Danar sedikit memaksa. Nimas akhirnya menyerah. Diikutinya langkah lelaki itu menuju pintu belakang padepokan di mana mereka bisa leluasa masuk tanpa ketahuan.

***

Matahari baru menyembul sedikit, menyebarkan rona jingga pada langit timur. Nimas Kinasih dan para penghuni padepokan sudah bersiap menuju perigi. Di antara meraka, ada yang membawa bakul berisi pakaian kotor.

“Kau tidak mencuci?” tanya Dyah Ayu Perwita, sahabat Nimas semenjak awal kedatangannya ke Lembah Petir.

“Besok sajalah, aku sedang malas. Lagi pula, pakaianku belum banyak yang kotor,” kilah Nimas sambil mempercepat langkah.

“Mengapa buru-buru sekali?”

Nimas tidak menjawab. Namun, hatinya berdebar tak menentu. Dari mata batinnya, ia tahu, Danar Aryandra sedang berjalan di belakangnya bersama kawan-kawannya sepadepokan. Nimas bahkan yakin, bahwa Danar memang sengaja mengikutinya.

Sampai tepi perigi, Nimas menghentikan langkah dan segera berbalik arah. “Berhenti, Kakang. Kamu mau apa? Bukankah perigi kita berbeda? Untuk lelaki di sebelah barat, dan untuk kami di timur sini? Apakah Kakang punya niatan buruk terhadap kami?” tanyanya berang.

“Nimas, jangan garang begitu! Kau ini orang baru di sini. Bahkan Ki Randu pun mengangkatmu sebagai murid hanya karena kasihan melihatmu pingsan di tepi hutan. Sopanlah sedikit!” seru Dyah Ayu gusar.

Beberapa lelaki tertawa, bahkan setengahnya menggoda, tetapi siapa pun anggota Padepokan Lembah Petir pasti paham bahwa hal itu hanyalah sebatas gurauan, tak lebih. hal itu dikarenakan pemimpin padepokan–Ki Wirasana—menekankan sopan santun pada setiap muridnya.

Nimas Kinasih tertunduk malu dan rupanya Danar Aryandra menyadari itu. Dengan sedikit membungkuk, ia pun mohon diri.

“Tampaknya, Kang Danar menyukaimu, Nimas,” celetuk Dyah Ayu sembari menyikut lengan sahabatnya itu. Nimas tersipu.

“Aku … aku tidak berani membicarakannya. Yuk, kita segera mandi saja. Kabarnya, nanti Ki Wirasana dan Ki Randu akan membagikan tugas pada kita.”

Ketika hari menjelang siang, para penghuni padepokan sudah berkumpul di tengah pendopo. Mereka semua duduk bersila dengan tertib. Suasana hening dan lengang.

Nimas duduk dekat saka guru(¹) pendopo sehingga ia dapat bersandar di situ. Entah mengapa, ia merasa sangat mengantuk. Mungkin saja karena ia semalam kurang tidur.

Baru saja mata Nimas hendak terpejam, tiba-tiba dirasakannya sebuah kerikil terlempar ke arahnya. Nimas terkejut, rasa kantuknya hilang seketika. Ia sibuk mencari-cari dari mana arah kerikil itu berasal.

Sepasang mata menatapnya tajam. Nimas tercekat, mata itu! Mata yang tajam dan teduh milik Danar Aryandra. Dari mata itu juga Nimas mengerti ada isyarat yang mengharuskannya mencari-cari sesuatu di bawah.

Rupanya kerikil yang dilemparkan Danar adalah kertas yang dipilin-pilin kecil. Dengan cekatan, Nimas memungutnya lalu membukanya. Sebaris tulisan aksara Jawa terpapar di sana. Nimas menelan ludah.

“Ingsun tresna sliramu, Cah Ayu(²).” Dyah Ayu menyahut dari belakang. Nimas terkesiap. Rupanya diam-diam sahabatnya itu mengawasi.

“Apa kubilang, Kang Danar menyukaimu, Nimas.”

“Bisa saja kertas ini salah lempar, Dyah.”

“Aku berani bertaruh, sebentar lagi kamu akan menerima cinta Kang Danar.”

Pernyataan Dyah Ayu Perwita memang benar. Tak berapa lama, Nimas sudah jatuh ke pelukan Danar Aryandra, murid padepokan yang terkenal tampan dan sakti. Hal itu membuat Dyah Ayu merasa cemburu, tapi susah payah perasaan itu ditepisnya demi menjaga persahabatannya dengan Nimas.

Hari itu, seluruh murid Padepokan Lembah Petir mendapat tugas masing-masing. Seperti yang sudah santer terdengar, padepokan itu memiliki kemampuan khusus untuk memata-matai musuh. Karena kemampuan inilah, Ki Wirasana tak segan memasang harga tinggi untuk setiap tugas mata-mata yang diberikan dari para petinggi negeri.

Sedari awal, Nimas Kinasih selalu berperilaku baik dan penurut. Apa saja tugas yang dibebankan padanya, berikut dengan latihan-latihan kanuragan, ia lakukan tanpa mengeluh. Nimas juga memahami, antara Ki Wirasana dan Ki Randu Prabancana tidak sejalan. Mereka berdua sering berseberangan dalam berpendapat.

Seperti kali ini. Nimas lebih menyukai penugasan yang diberikan oleh Ki Randu untuk memata-matai segala gerak-gerik Raden Aji Wura, penguasa tanah Saka. Dengan sepenuh hati, Nimas mempelajari ajian ilang raga agar ia dapat leluasa mengintai Raden Aji Wura.

Pada Danar, kekasihnya, Nimas meminta diajarkan bermacam-macam ilmu kanuragan dan olah batin. Danar pun mengajarkan dengan segenap hati. Rasa cinta kian menjalar di hati mereka berdua.

Dari jarak sekian depa, Dyah Ayu hanya mengintip dengan marah. Berulang-ulang dikepalnya tinju. “Aku harus merebut Danar Aryandra dari tanganmu, Nimas,” geramnya.

Namun, Dyah Ayu adalah orang yang sangat pandai menyembunyikan perasaan. Di hadapan Nimas dan Danar, ia tetap bersikap seolah-olah tak terjadi apa pun. Bahkan, ia masih setia bersama-sama dengan Nimas meski sahabatnya itu lebih suka menghabiskan waktu dengan Danar.

“Serius sekali kau berlatih dengan Kang Danar,” kata Dyah Ayu suatu ketika.

“Ini demi tugas yang diberikan Ki Randu, Dyah,” jawab Nimas sembari tersenyum. “Aji Wura harus mati,” ucapnya lagi dengan mantap.

“Tapi, bukankah Raden Aji Wura adalah sahabat Ki Wirasana?” tanya Dyah Ayu.

“Aku ingin dia mati. Aku bersumpah akan membunuhnya dengan tanganku sendiri.”

“Nimas, ingat, tugas kita hanya mengintai. Bukan membunuh.”

“Persetan dengan tugas, sehabis membunuh Aji Wura, aku akan pergi dari padepokan ini.”

“Kau gila, Nimas!”

***

“Dyah Ayu! Dyah Ayu! Mari kita berangkat!” seru Nimas.

Suasana dusun begitu ramai, banyak orang lalu-lalang. Namun, rumah Dyah Ayu sedemikian sepi. Dyah Ayu memang satu-satunya murid padepokan yang bertempat tinggal tak jauh dari padepokan. Sekali sepekan ia akan pulang ke rumahnya dan akan kembali ke padepokan, dua hari sesudahnya.

Hari itu, Nimas sengaja menghampiri Dyah Ayu karena mereka akan berangkat bersama-sama hingga ke kota demi tugas masing-masing.

“Dyah Ayu!” panggilnya sekali lagi. Tetap tak ada sahutan. Nimas memberanikan diri untuk lebih dekat dengan pintu rumah Dyah Ayu. Sungguh aneh, biasanya ibu Dyah Ayu sudah duduk di balai-balai untuk menganyam bambu dan ayahnya sudah sibuk mengurusi sapi-sapi di kandang yang terletak di samping rumahnya.

Nimas melihat pintu tidak tertutup rapat, maka ia semakin nekat untuk memasuki rumah itu.

“Kakang Danar! Apa yang kau lakukan?!” terik Nimas tak tertahan. Ia melihat tubuh kekasihnya telentang di atas tilam dalam keadaan tanpa busana. Dyah Ayu tertidur beralaskan lengan pemuda itu.

Danar dan Dyah Ayu terbangun dengan terkejut. Mereka segera meraih selimut untuk menutup tubuh.

“Kalian … tega sekali terhadapku. Dasar sundal!” Nimas menampar wajah sahabatnya itu hingga meneteslah darah dari sudut bibir Dyah Ayu.

“Bukankah kau yang sundal perguruan?” tantang Dyah Ayu sembari mengusap bibirnya yang berdarah. Ia sedikit merasa perih, tapi ditahannya. “Jika kau memang mencintai Kang Danar, katakan sejujurnya, siapa yang sedang kau mata-matai?”

“Katakan, Nimas. Aku akan memercayaimu sekalipun itu sebuah kebohongan,” sambung Danar.

“Kata-kata seperti itu tak pantas keluar dari mulut lelaki sepertimu!” seru Nimas. Dengan hati hancur ia berlari meninggalkan rumah Dyah Ayu.

“Nimas! Tunggu, dengarkan aku!” pekik Danar.

“Kakang, sudahlah. Bukankah Nimas memihak pada orang yang salah?” ujar Dyah Ayu perlahan. Didekatinya tubuh Danar yang mematung di tepi pembaringan.

“Tapi aku mencintainya, Dyah Ayu. Aku ….”

“Kakang! Jika kau mencintainya, lalu hubungan kita ini bagaimana? Padamu telah kuserahkan mahkotaku yang paling kuagungkan. Apakah kau tega melepaskanku? Lantas siapa orang yang akan sudi meminangku kalau aku tak suci lagi?”

***

Selepas itu, suasana menjadi canggung. Nimas masih setia berguru di Padepokan Lembah Petir dan berjuang menyelesaikan tugas yang diembankan padanya oleh Ki Randu Prabancana. susah payah ia berusaha menahan sedih setiap kali berpapasan dengan Danar maupun Dyah Ayu.

“Dengar, Nimas, aku dan Kang Danar akan segera menikah.”

Nimas menatap dalam-dalam wajah Dyah Ayu, sahabatnya. Perlahan, ia menyusut air mata yang mengalir.

“Mengapa? Sedih? Seharusnya kau sadar diri, tidak sepantasnya kau bersanding dengan Kang Danar. Dia adalah salah satu orang kepercayaan Ki Wirasana. Sedangkan kau hanyalah seorang pecundang yang rela mengikuti kehendak Ki Randu demi apalah itu namanya. Aku curiga, jangan-jangan kau sengaja memihak Ki Randu karena menginginkan posisinya di padepokan ini.”

“Dyah Ayu, hentikan! Sumpah demi apa pun, aku tidak menginginkan apa pun yang berkaitan dengan kekuasaan dari padepokan ini. Justru aku juga heran, mengapa kau tega mengkhianatiku? Ingat, Dyah Ayu, karma akan datang padamu!”

Nimas berlari ke tengah tanah lapang di area padepokan. Ia lantas mengambil sikap sempurna. Ajian malih raga sudah ia kuasai. Dalam hati ia bersyukur karena sempat dekat dengan seorng Danar Aryandra yang sakti sehingga ia dapat menyulih segala ilmu yang dimiliki lelaki itu.

Tubuh Nimas telah berubah. Rambutnya memutih, tubuhnya bongkok, serta pakaiannya compang-camping. Nimas mengerling pada Dyah Ayu sekejap, lalu berlari kencang dengan menggunakan ajian peringan tubuh. Sekilas Dyah Ayu melihat, sebilah pedang berada di punggung Nimas. Dyah Ayu tidak pernah tahu bahwa semalam Nimas menyelinap masuk ke dalam bilik Ki Randu Prabancana untuk mencuri senjata.

“Kakang, cepat susul Nimas! Sepertinya ia akan membunuh Raden Aji Wura!” seru Dyah Ayu tergopoh-gopoh. Danar yang tengah bersemadi melatih tenaga dalamnya pun membuka matanya.

“Dari mana kau tahu? Nimas orang baru di sini, Dyah. Mana mungkin dia ….”

“Tadi kulihat Nimas menggunakan ajian malih raga, lalu melesat pergi. Sebilah pedang kulihat berada di punggungnya. Aku khawatir kalau-kalau ….”

“Aku berangkat sekarang.”

“Ke mana?”

“Menyusul Nimas.”

***

“Raden Aji Wura, keluarlah! Lihatlah aku!” Lantang suara Nimas hingga bergema di seluruh ruangan kaputren. Para prajurit tak kuasa menghentikan langkah gadis belia itu. Dengan sekali tebas, maut menjemput nyawa-nyawa pengabdi Raden Aji Wura.

Raden Aji Wura gusar mendengar keributan di luar. Ia pun segera keluar menghampiri Nimas yang tengah kalap.

Nimas menghunus pedang. Ia berlari cepat kearah Raden Aji Wura.

“Ini untuk Bi ….”

Sebuah mata tombak menembus punggung Nimas, membuatnya jatuh tersungkur. Darah bergelimang di keputren.

“Maafkan aku, Nimas …,” ujar Danar Aryandra lirih. Baru saja ia melepaskan anak tombak tepat ke tubuh kekasihnya. Dalam sekarat, Nimas menatap mata Danar dengan penuh rasa. Air matanya mengalir, untuk yang penghabisan.

***

… Biyung, selamat malam
Maafkan anakmu yang belum mampu menepati janji
Bahkan untuk menghabisi nyawanya saja aku tak sanggup
Biarlah, nyawaku menjadi ganti
Sembah baktiku padamu
Biyung, biyungku … izinkan aku pergi

Gegaraning katresnan
Tan cinatur sakahing godha rencana
Nir panguwasa
Sejatining raga tumekaning patiku ….(³)

******

Catatan kaki:
1. Saka guru: tiang utama penyangga sebuah rumah
2. Ingsun tresna sliramu, Cah Ayu: aku cinta kamu, Anak Cantik
3. Gegaraning katresnan, tan cinatur sakahing godha rencana. Nir panguwasa. Sejatining raga tumekaning patiku: asal muasal cinta, tak dapat dikatakan melalui banyaknya godaan. Tanpa kekuatan. Dari dalam tubuh hingga sampai pada mati.

Geva

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *